Selasa, 25 November 2008

Mengokohkan Sistem Presidensial

Rabu, 26 November 2008 01:08 WIB
Denny Indrayana
Di antara perjalanan kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari Meksiko ke Brasil, saya membaca artikel Donny Gahral Adian, ”Kediktatoran Konstitusional” (Kompas, 17/11/2008). Artikel yang menarik dan dengan tepat menggambarkan urgensi kehadiran sistem presiden- sial yang kokoh di Tanah Air.
Tulisan berikut menegaskan bahwa sistem demikian hanya mungkin lahir lewat ramuan tepat di antara desain konstitusional yang demokratis, serta perilaku politik yang bermoral.
Desain konstitusional
Pencarian desain konstitusional pemerintahan yang efektif adalah proses tak berujung. Dari empat negara yang kali ini dikunjungi Presiden Yudhoyono tampak jelas beragamnya pilihan yang tersedia. Amerika Serikat adalah representasi sistem presidensial murni yang ditopang dua partai besar. Di Meksiko, desain konstitusi membatasi sistem presidensial, salah satunya dengan masa jabatan maksimal hanya satu periode untuk enam tahun, tidak dapat dipilih kembali (no re-election system). Saat ini ada delapan partai yang terwakili di Kongres Meksiko.
Adapun Brasil menerapkan sistem yang hampir sama dengan AS, termasuk masa jabatan maksimal dua kali empat tahun (only one re-election system), tetapi dengan perbedaan mendasar bahwa presidensial Brasil berada dalam sistem 15 partai yang mempunyai kursi di parlemen.
Di antara ke empat negara, Peru adalah negara yang memiliki sistem pemerintahan paling berbeda, yaitu sistem presidensial campuran (hybrid). Dari sistem yang diadopsi dari Perancis ini, Peru mempunyai Presiden sebagai kepala negara dan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan. Presiden dalam sistem multipartai Peru memiliki hak untuk membatalkan keputusan, atau bahkan membubarkan Kongres.
Dari keempat negara tersebut, presidensial ala AS relatif paling memungkin- kan hadirnya sistem presidensial yang efektif. Di samping karena sistem pemerintahannya berdiri di atas dua partai utama, perilaku politik elite dan masyarakatnya membuat efektivitas pemerintahan lebih berpotensi hadir di sana.
Perilaku politik
Sampai tahap tertentu, political behaviour dapat dikawal dengan desain hukum. Pelajaran terkini dari Amerika Serikat adalah bagaimana proses transisi kekuasaan kepresidenan dari George W Bush kepada Barack Obama berjalan dengan mulus. Salah satunya karena mekanisme transisi sudah diatur dengan baik sejak tahun 1963 melalui Presidential Transition Act.
Di samping desain hukum yang lebih rapi, etika politik pun berjalan baik. Tidak ada aturan hukum yang mewajibkan adanya pidato kekalahan ataupun kemenangan pada proses akhir pemilihan presiden. Konvensi pidato politik demikian lahir dari keluhuran etika elite politik yang siap kalah.
Perilaku adiluhung politik pula yang ditunjukkan Presiden Bush ketika mengundang Presiden Terpilih Obama ke White House. Komunikasi di antara keduanya makin memuluskan proses transition to power. Dalam hal komunikasi antarpresiden ini, Indonesia masih perlu banyak belajar.
Di samping perilaku elite, perilaku rakyat pemilih dapat ikut memengaruhi efektivitas sistem presidensial. Presiden Obama, misalnya, akan menikmati dukungan mayoritas anggota Kongres yang juga dikuasai Partai Demokrat. Satu dan lain hal karena pemilih melakukan strategi straight-ticket, bukan split-ticket, yaitu secara sadar memilih Partai Demokrat untuk menguasai White House maupun Kongres.
Rekayasa hukum
Sistem presidensial Indonesia masih dikungkung oleh multipartai yang tidak sederhana. Desain konstitusional melalui Undang-Undang Pemilu justru memperbanyak partai politik peserta Pemilu 2009 menjadi 38 untuk tingkat nasional. Padahal, setelah diikuti 48 partai pada tahun 1999, peserta pemilu telah berhasil diturunkan menjadi 24 parpol pada tahun 2004. Sudah pasti, desain kepemiluan ke depan harus lebih tegas untuk menyeleksi eksistensi partai.
Desain konstitusional lain yang masih menimbulkan perdebatan termutakhir adalah syarat dukungan partai politik bagi seorang calon presiden. Persentase 20 persen dari jumlah kursi atau 25 persen dari perolehan suara dianggap membelenggu proses pencalonan presiden, lebih jauh norma hukum demikian dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Pendapat semacam itu tidaklah tepat. Kalau dalam syarat capres ditambahkan pendidikan sarjana, tidak otomatis berarti melanggar konstitusi yang sama sekali tidak berbicara tentang syarat pendidikan minimal tersebut.
Persentase dukungan partai politik adalah salah satu legal engineering untuk mengokohkan sistem presidensial Indonesia. Rekayasa hukum tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi karena semua parpol mempunyai hak yang sama untuk mencalonkan presiden, sepanjang memenuhi syarat persentase dukungan tersebut. Terlebih, beberapa parpol yang kontra sebenarnya tidak menolak konsep persentase dukungan, tetapi menganggapnya terlalu tinggi sehingga berat dipenuhi.
Padahal, untuk menghadirkan presidensial efektif salah satu caranya adalah dengan mendekatkan jurang pemisah di antara dukungan pemilih (electoral support) dan dukungan pemerintahan (governing support). Mendekatkan jarak antara dukungan publik (public support) dan dukungan politik (political support) inilah yang menyebabkan syarat persentase parpol menjadi relevan untuk didukung. Jika tidak, kita akan terus berharap pada idealita sistem presidensial kukuh, tetapi realitanya yang hadir adalah presidensial rapuh. Yang diminta presidensial efektif, faktanya yang lahir adalah ”presiden sial” (minority president).
Akhirnya, perbaikan desain konstitusional presidensial, harus selalu diikuti dengan perbaikan etika perilaku elite politik. Maknanya, tidak boleh ada ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan. Setiap implementasi kekuasaan yang koruptif, harus segera diberikan sanksi hukum yang tegas dan menjerakan.
-Denny Indrayana Staf Khusus Presiden Bidang Hukum; Pengajar Hukum Tata Negara UGM; Menulis dari Rio De Janeiro, Brasil
Sumber : Kompas.

Tidak ada komentar: