Senin, 26 Oktober 2009

Drama Cikeas dan Sandera Getok Tular

EEP SAEFULLOH FATAH

Sungguh tak mudah menjadi Susilo Bambang Yudhoyono. Partai Demokrat yang dipimpinnya berhasil meraih 20,85 persen suara dalam pemilu legislatif. Ia lalu terpilih secara meyakinkan sebagai presiden dengan mengantongi 60,8 persen dukungan pemilih. Namun, ketika membentuk kabinet, mau tak mau, ia harus mengakomodasi kepentingan empat partai lain penyokong pencalonannya, yang sesungguhnya secara bersama-sama ”hanya” meraih 24,15 persen suara dalam pemilu legislatif.

Jika kita gunakan logika presidensialisme murni, kemenangan mutlak yang diraih Yudhoyono semestinya membuat dia amat sangat leluasa menyusun kabinetnya. Namun, mengingat sistem multipartai yang mengantarnya ke kursi presiden, kabinetnya mau tak mau mesti mengakomodasi dan merepresentasikan kepentingan partai-partai peserta koalisi.

Siapa pun presiden Indonesia mau tak mau akan berada di tengah tarik-menarik presidensialisme dan sistem multipartai itu. Yang kemudian menegaskan kualitas politik sang presiden adalah dua kemampuan sekaligus. Pertama, seberapa jauh ia pandai mengelola hubungan mandat-akuntabilitas-keterwakilan dengan publik sebagaimana diamanatkan presidensialisme. Kedua, seberapa cerdas ia mengelola keterwakilan partai secara substantif untuk membuatnya selamat di tengah kepentingan banyak partai yang berjalin kelindan.

Saya menilai Yudhoyono cukup berhasil menunaikan dua tuntutan itu, tetapi dengan sedikit catatan berikut.

Drama Cikeas

Manakala menjalankan fungsi presidensialnya berhadapan dengan tuntutan mandat-keterwakilan-akuntabilitas publik, Yudhoyono lebih banyak bermain di level kemasan ketimbang substansi. Fakta ini terwakili oleh drama tiga hari di Cikeas.

Selama tiga hari sejumlah calon menteri berdatangan ke Cikeas untuk menjalani semacam uji kepatutan dan kelayakan. Para calon menteri itu menunggu di pendapa sebelum ”diwawancara” Yudhoyono dan wakil presiden terpilih Boediono. Lalu, selepas ”wawancara”, mereka berbicara di hadapan publik melalui corong para jurnalis.

Selepas itu, media (baca: kita) mulai membuat spekulasi mengenai siapa akan menjabat apa. Beredarlah perkiraan pengisian pos-pos departemen, kementerian negara, dan pos-pos setingkat menteri negara.

Pada titik itulah drama tiga hari di Cikeas itu lebih banyak berhenti di level kemasan, bukan substansi. Dalam format seperti itu—mengulang format serupa lima tahun lampau—audisi para calon menteri tak bisa disebut sebagai fenomena transparansi dan pertanggungjawaban publik kerja seorang presiden. Rentetan kejadian itu pun lebih banyak menjadi adegan-adegan drama yang miskin substansi.

Drama itu pun terasa mengganggu karena beberapa faktor. Publik tak diberikan penjelasan memadai tentang ”siapa hendak ditaruh di pos apa lantaran alasan apa”. Jika prosesi itu hendak dimaknai sebagai mekanisme demokratis pembentukan kabinet, selepas wawancara setiap tokoh seyogianya juru bicara presiden menjelaskan kepada publik sang tokoh hendak diposisikan di pos mana berikut alasan-alasannya. Lalu, sang tokoh berbicara untuk menceritakan identitas dirinya serta menegaskan kesiapannya mengemban tugas.

Selain itu, dengan keleluasaan waktu yang dimilikinya, presiden terpilih sesungguhnya bisa mengadakan uji kelayakan itu lebih awal. Dengan demikian, publik diberikan penerangan dalam rentang waktu yang memadai.

Dengan demikian, prosesi itu pun menjadi semacam prosesi transparansi dan akuntabilitas publik kerja presiden tanpa mencederai hak prerogatif presiden dalam menyusun pemerintahan. Prosesi itu pun terlepas dari dramatisasi berlebihan sambil tetap menjaga prinsip-prinsip pokok presidensialisme.

Sandera getok tular

Di luar kebutuhan menegakkan prinsip presidensialisme secara elegan itu, presiden juga dituntut berkemampuan mengelola keterwakilan partai. Ditilik secara statistik, Yudhoyono sukses mengelola perkara terakhir ini. Ada 19 wakil partai dan 18 tokoh nonpartai terakomodasi dalam Kabinet Indonesia Bersatu II.

Namun, sukses statistik itu harus diuji secara politik. Benarkah bahwa komposisi itu menggambarkan terakomodasinya kepentingan partai-partai politik dan bukan sekadar tersalurkannya kehendak segelintir elite partai? Seberapa jauh ”kabinet pelangi” ini berkemampuan menjaga disiplin koalisi selama pemerintahan berlangsung hingga lima tahun depan? Seberapa efektif kontrak politik, kontrak kinerja, dan pakta integritas yang dibuat antara Yudhoyono-Boediono dengan partai dan para tokohnya itu akan berfungsi mengefektifkan pemerintahan?

Jika komposisi kabinet yang akomodatif terhadap partai-partai itu ternyata tak mendekatkan kita pada jawaban-jawaban positif atas deretan pertanyaan di atas, boleh jadi yang kita sua di balik koalisi besar itu sekadar fenomena ”sandera getok tular”. Presiden diam-diam menyandera partai-partai dengan mengikat kepentingan segelintir elite partai itu, lalu segelintir elite partai tadi diam-diam menyandera partainya sendiri.

Jika fenomena ”sandera getok tular” itu yang kemudian terbangun, prosesi-prosesi politik selepas Pemilu 2009 akan mengakumulasikan keuntungan kepada Yudhoyono dan Partai Demokrat. Sebaliknya, rentetan prosesi itu makin menumpukkan kerugian pada partai-partai peserta koalisi lainnya.

Saya berharap bukan itu yang sedang terjadi. Saya berharap lima tahun ke depan Yudhoyono bukan saja akan sukses menjaga stabilitas pemerintahannya, tetapi juga meningkatkan efektivitas presidensialisme dan produktivitas demokrasi kita.

EEP SAEFULLOH FATAH Pemerhati Politik dari Universitas Indonesia
Sumber : cetak.kompas.com

Rabu, 21 Oktober 2009

Susunan Kabinet Indonesia Bersatu II

Jakarta - Usai sudah rangkaian audisi yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyaring para pembantunya. Tanpa ragu, SBY menyampaikan susunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II.

Susunan KIB II ini disampaikan Presiden SBY dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Rabu (21/10/2009) pukul 22.00 WIB. Ikut dalam jumpa pers adalah para menteri KIB I dan juru bicara kepresidenan, Andi Mallarangeng dan Dino Patti Djalal.

MENTERI KOORDINATOR

1. Menko Politik Hukum dan Keamanan : Marsekal (Purn) Djoko Suyanto
2. Menko Perekonomian : Hatta Rajasa
3. Menko Kesra : R Agung Laksono
4. Sekretaris Negara : Sudi Silalahi

MENTERI DEPARTEMEN

1. Menteri Dalam Negeri : Gamawan Fauzi
2. Menteri Luar Negeri : Marty Natalegawa
3. Menteri Pertahanan : Purnomo Yusgiantoro
4. Menteri Hukum dan HAM : Patrialis Akbar
5. Menteri Keuangan : Sri Mulyani
6. Menteri ESDM: Darwin Saleh
7. Menteri Perindustrian : MS Hidayat
8. Menteri Perdagangan : Mari E. Pangestu
9. Menteri Pertanian : Suswono
10. Menteri Kehutanan : Zulkifli Hasan
11. Menteri Perhubungan : Freddy Numberi
12. Menteri Kelautan dan Perikanan : Fadel Muhammad
13. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi : Muhaimin Iskandar
14. Menteri Pekerjaan Umum : Djoko Kirmanto
15. Menteri Kesehatan : Endang Rahayu Sedyaningsih
16. Menteri Pendidikan Nasional : Mohammad Nuh
17. Menteri Sosial : Salim Segaf Al Jufri
18. Menteri Agama : Suryadharma Ali
19. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata : Jero Wacik
20. Menteri Komunikasi dan Informatika : Tifatul Sembiring

MENTERI NEGARA

1. Menteri Riset dan Teknologi : Suharna Suryapranata
2. Menteri Koperasi dan UKM : Syarifudin Hasan
3. Menteri Lingkungan Hidup : Gusti Muhammad Hatta
4. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Linda Amalia Sari Gumelar
5. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara : E.E Mangindaan
6. Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal : Ahmad Helmy Faishal Zaini
7. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas : Armida Alisjahbana
8. Menteri BUMN : Mustafa Abubakar
9. Menteri Pemuda dan Olahraga : Andi Alfian Mallarangeng
10. Menteri Perumahan Rakyat : Suharso Manoarfa

PEJABAT SETINGKAT MENTERI

1. Kepala BIN: Jenderal (Purn) Sutanto
2. Kepala BKPM: Gita Wirjawan
3. Ketua Unit Kerja Presiden Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan: Kuntoro Mangkusubroto
(anw/gah)

Rabu, 14 Oktober 2009

Presiden Yudhoyono dan "Demokrasi Mataraman"

Kamis, 15 Oktober 2009 | 03:57 WIB

Oleh Anwar Hudijono

Setelah Raja Pajang Sultan Hadiwijaya wafat, ada dua poros suksesi utama, yaitu Pangeran Benawa di Pajang dan Panembahan Mas di Madiun. Keduanya sama-sama keturunan darah biru Sultan Trenggana dari Demak Bintara.

Namun, ternyata yang muncul adalah Panembahan Senapati dari Mataram. Dia bukan trah raja. Dia yang semasa kecil bernama Sutawijaya lahir dari kalangan jelata. Ayahnya, Manahan, pernah menjadi perwira Demak bergelar Ronggo Tohjoyo.

Senapati memegang teguh wewarah (ajaran) kultur Jawa bahwa tan ana baskara kembar (tak ada matahari kembar). Tidak boleh ada kekuasaan yang membayanginya. Kekuasaan yang bisa membayangi dirinya ditaklukkan dengan prinsip menang tanpa merendahkan. Berarti memilih penyelesaian politik. Kalau tidak bisa, baru dengan cara militer.

Kerajaan Pajang dilikuidasi. Pewarisnya, Pangeran Benawa, dijadikan bupati di Jipang. Diperhitungkan, Benawa tak akan bisa besar karena berada di daerah basis pendukung Pangeran Sedalepen, musuh kakeknya, Trenggana.

Jurus gertak dan jepit dilakukan terhadap Madiun. Disertai ancaman militer, dipilih pula jalur politik. Retna Dumilah, anak Panembahan Mas, dijadikan istri.

Adipati Pragola di Pati masih memberontak. Senapati tahu, menyerang akan menimbulkan korban besar dan melelahkan karena Pati cukup kuat. Untuk itulah, putrinya, Pambayun, dijadikan umpan untuk menjerat Pragola sampai akhirnya dikawin. Pragola memang mau menghadap Senapati, tetapi sebagai menantu. Sementara sebagai penguasa, dia tetap tidak mau tunduk.

Akhirnya Senapati membunuh Pragola dengan cara mengempaskan kepalanya di batu hitam yang didudukinya saat menantunya itu sungkem. Jasad Pragola dikubur separuh dalam tembok istana, separuh di luar. Itu sebagai simbol separuh sebagai keluarga, tetapi separuh adalah musuh.

Senapati terus menggeber sayap kekuasaannya. Semua harus tunduk, karena pada dasarnya raja yang besar adalah bila seluruh rakyat tunduk. Kalau ada yang masih memberontak atau mbalela (oposisi), berarti kebesarannya berkurang.

Sampai-sampai dia nyaris lupa diri, nafsu kekuasaan yang terlalu besar sehingga lupa norma seperti hendak menghancurkan Giri dan Cirebon. Padahal, kedua daerah ini dicintai rakyat karena memiliki otoritas keagamaan, bukan semata otoritas politik. Demak pun menaruh hormat dan menjadikan keduanya sebagai konfederasi.

Mendekati kemutlakan

Menurut ”ilmu pangremesan”, otak-atik mathuk (dicocok-cocokkan) proses tampilnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di puncak kekuasaan mirip Senapati. Pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2004, ada dua poros utama trahing kesuma rembesing madu politik. Mereka adalah Megawati Soekarnoputri dari trah presiden pertama, Soekarno, dan Wiranto yang boleh dibilang adalah representasi dari trah presiden kedua, Soeharto.

Namun, ternyata yang muncul adalah SBY dari luar arus utama itu. Kemenangan SBY sangat mencengangkan. Dia mendapat legitimasi mitos sebagai Satria Piningit, yaitu lahirnya pemimpin yang memang menjadi suratan alam. Apalagi dia memang sempat terpingit (menyembunyikan diri) di Cikeas, Bogor, setelah berhenti dari kabinet Megawati. Dia seperti Senapati yang menyingkir di Hutan Mentaok yang lalu menjadi Mataram. Senapati pun mendapat legitimasi sebagai penguasa yang memang dikehendaki jagat karena ayahnya meminum air kelapa milik Ki Ageng Giring. Ada suara gaib yang mengatakan, siapa yang meminum air kelapa itu, keturunannya akan menjadi penguasa Tanah Jawa.

Karier kekuasaan SBY dan Senapati sama-sama berada di garis naik. Kalau pada Pilpres 2004 SBY harus menang dua putaran, pada Pilpres 2009 dia menang satu putaran dengan suara hampir 60 persen.

Kemenangan itu sebenarnya memberikan legitimasi yang kuat. Akan tetapi, rupanya itu belum cukup. Terkesan SBY ingin agar seluruh kekuatan politik tunduk. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang pada periode pertamanya bersikap oposisi, dikempit dengan cara Taufik Kiemas, suami Megawati, didorong menjadi Ketua MPR. Partai Golkar pun hampir pasti akan digandeng dengan diberi menteri atau kompensasi lain.

Pada periode kedua ini kekuasaan SBY benar-benar mendekati kemutlakan. Gangguan dari parlemen hampir pasti tak akan ada lagi, seperti pada periode pertama. Kekuatan yudikatif sama lemahnya dengan legislatif, apalagi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin melemah.

Jika pada periode pertama masih ada nuansa matahari kembar dengan Wakil Presiden M Jusuf Kalla, periode kedua ini hampir pasti tidak ada. Boediono akan bisa bersikap cukup menjadi rembulan. Seterang apa pun, jika matahari ada, rembulan akan pucat pasi.

Menurut ”ilmu titen”, kekuasaan yang semakin besar, apalagi mendekati mutlak, akan mudah sekali mengundang melik nggendong lali (lupa diri). Hal itu tidak dibatasi apakah itu kekuasaan kerajaan atau demokrasi. Soekarno terpilih dengan cara semidemokrasi. Namun, dia membiarkan dirinya dinobatkan sebagai presiden seumur hidup.

Soeharto juga dipilih MPR hasil pemilu sebagai bentuk demokrasi. Toh, ia tetap mau dipilih kembali kendati sudah berkuasa 30 tahun. Dia juga dinilai diktatorial. KH Abdurrahman Wahid pun nyaris ”lupa diri” ketika membubarkan MPR, yang kemudian melengserkannya.

Munculnya sikap lupa diri itu tidak selalu semata dari diri sang penguasa, tetapi juga bisa dari orang di sekitarnya, baik yang bertujuan mengeruk keuntungan pribadi maupun menjerumuskannya. Dalam cerita Mahabarata, Prabu Duryudana tak mau menyerahkan separuh Hastina kepada Pandawa karena provokasi Patih Sengkuni dan Pandita Durna. Kisah itu bisa terjadi dalam dunia nyata kekuasaan di negeri ini pula.

Tanda awal berjangkitnya lupa diri itu, menurut ”ilmu titen”, jika penguasa sangat sensitif terhadap perbedaan pendapat, apalagi kritik karena merasa dirinya paling benar, paling berkuasa, paling kuat, dan semua orang harus tunduk. Dengan demikian, kalau ada yang berani berbeda pendapat, itu sudah dikategorikan memberontak atau beroposisi.

Semoga SBY tak sampai melik nggendong lali meski kemungkinan itu bisa terjadi. Lihat saja, dengan menguasai parlemen, SBY akan dengan mudah mengubah batasan masa jabatan presiden dua periode pada konstitusi menjadi lebih. Kalau ia bisa lepas jeratan ”lupa diri”, insya Allah dia akan bisa mengantar Indonesia memasuki zaman emas, seperti Senapati mengantar Sultan Agung membawa Mataram meraih masa keemasan.
Sumber : cetak.kompas.com

Selasa, 13 Oktober 2009

Kiamat Tahun 2012 Dibantah

Rabu, 14 Oktober 2009 | 04:01 WIB

Apolinario Chile Pixtun bosan dihujani pertanyaan mengenai kalender Maya yang memperkirakan kiamat pada 21 Desember 2012. Menurut tetua Indian Maya itu, berita tersebut tidak benar. ”Saya kembali dari Inggris tahun lalu dan mereka membuat saya muak dengan hal itu.”

Keadaan bisa bertambah buruk baginya. Bulan depan film Hollywood berjudul 2012 akan diputar di bioskop, yang memperlihatkan gempa bumi, hujan meteor, dan sebuah tsunami mencampakkan sebuah kapal induk ke Gedung Putih.

Di Universitas Cornell, Ann Martin, yang mengelola situs internet Curious? Ask an Atronomer, mengatakan, orang- orang telah ketakutan.

”Sayang sekali bahwa kita mendapatkan e-mail dari siswa-siswa SD yang mengatakan bahwa mereka terlalu muda untuk mati,” kata Martin. ”Ada juga seorang ibu dua anak kecil yang takut dia tidak akan hidup untuk melihat mereka dewasa.”

Chile Pixtun, warga Guatemala, mengatakan, teori-teori hari kiamat itu datang dari gagasan Barat, bukan Maya.

Sebuah periode waktu yang penting bagi orang Maya memang berakhir pada tanggal itu, dan orang-orang telah menemukan serangkaian penjajaran astronomis yang menyebutkan pada tahun 2012 akan ada kejadian langka bagian dari siklus setiap 25.800 tahun.

Namun, sebagian besar ahli arkeologi, astronomi, dan suku India Maya mengatakan, satu-satunya yang mungkin akan menghantam Bumi adalah hujan filsafat New Age dan kabar angin soal kiamat di internet. Dengan kata lain, hari kiamat itu tidak benar.

Ramalan kiamat tahun 2012 terdengar seperti skenario kiamat yang bermunculan dalam beberapa dekade terakhir. Namun, ”ramalan” Maya ini agak lain karena disebutkan mempunyai beberapa dasar arkeologis.

Salah satu conrohnya adalah Monumen Enam. Monumen ini ditemukan di Meksiko selatan saat pembangunan jalan raya tahun 1960-an. Lapisan batu di monumen itu nyaris musnah. Sebagian besar situs itu tertutup aspal dan bagian-bagian dari batu itu telah dijarah.

Namun uniknya, ada bagian batu masih tersisa, yang mengandung padanan angka 2012. Pesan yang tertangkap pada lembar batu itu menyebutkan akan terjadi sesuatu pada tahun 2012. Perkiraan itu melibatkan Bolon Yokte, salah satu dewa Maya yang misterius yang dihubungkan dengan perang dan penciptaan. Erosi dan retakan pada batu itu membuat bagian akhir dari tulisan itu nyaris tak terbaca.

Ahli arkeologi Guillermo Bernal dari Universitas Otonomi Nasional Meksiko mengartikan bagian akhir tulisan yang sudah terkikis itu mungkin menyebutkan, ”Dia akan turun dari langit”.

Peradaban Maya mencapai puncak kejayaan dari periode tahun 300 Masehi sampai 900 Masehi. Mereka juga mengembangkan astronomi.

Kalender Hitungan Panjang milik Maya dimulai tahun 3114 sebelum Masehi. Kalender ini menandai siklus 394 tahunan sebagai Baktun. Angka tiga belas adalah angka penting dan sakral bagi Indian Maya. Suku ini memercayai Baktun ke-13 berakhir sekitar 21 Desember 2012.

Namun, ada yang mengatakan hal itu tidak menyimpulkan soal kiamat. ”Itu merupakan ulang tahun khusus soal penciptaan,” kata David Stuart, seorang spesialis epigrafi Maya dari Universitas Texas di Austin, AS. ”Orang Maya tidak pernah mengatakan dunia akan berakhir, tidak pernah mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Mereka hanya mencatat peringatan masa depan di Monumen Enam.”

Bernal mengatakan bahwa kiamat merupakan sebuah konsep ”yang sangat Barat, Kristen” yang diproyeksikan kepada orang Maya”.

Namun, sebagian orang mengatakan orang Maya mengetahui sebuah rahasia lain: poros Bumi bergoyang dan mengubah posisi bintang-bintang setiap tahun. Sekali dalam setiap setiap 25.800 tahun Matahari menjajarkan diri dengan pusat Bima Sakti. Ini sekaligus menandakan Matahari berada pada titik terendah di kaki langit. Itu akan terjadi pada 21 Desember 2012. Saat itu pula Matahari terbit di tempat yang sama dan pusat galaksi menjadi terang benderang.

Teori lain memang menyebutkan penjajaran itu atau gangguan magnetik bisa menimbulkan pergeseran kutub. Ilmuwan mengatakan, kutub-kutub mungkin bergeser satu derajat selama satu juta tahun. Namun, dikatakan juga, tak ada tanda-tanda itu akan terjadi pada tahun 2012.(AP/DI)
Sumber : cetak.kompas.com

Senin, 05 Oktober 2009

Amanat Bersama #IndonesiaUnite

Kami adalah generasi baru, pewaris sah Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kami adalah generasi baru, yang menolak untuk hidup dan tumbuh dengan rasa takut. Kami memilih menjadi pemberani.

Kami adalah generasi baru, yang percaya setiap kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru. Karena itu, kami akan berusaha untuk memutus rantai kekerasan melalui karya kemanusiaan di mana pun kami berada.

Kami adalah generasi baru, yang percaya penuh dengan prinsip demokrasi, kemanusiaan, kesetaraan, dan saling menghormati. Karena itu, kami menolak segala bentuk diskriminasi.

Kami adalah generasi baru, yang akan membangun sebuah bangsa dan negara yang bermartabat dan terhormat, mampu mempersatukan Indonesia, melindungi hak-hak individu, berdiri di atas semua golongan, serta memuliakan manusia-manusia yang menjadi rakyatnya.

Vulgar! Tayangan Televisi Korban Gempa Sumbar

Minggu, 4 Oktober 2009 | 21:14 WIB

SEMARANG, KOMPAS.com - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah mengimbau televisi untuk tidak menayangkan evakuasi korban gempa di Sumatra Barat secara vulgar, agar tidak menyalahi aturan penyiaran.

Anggota KPID Jateng, Najahan Musyafak di Semarang, Minggu (4/10) mengatakan, KPID Jateng maupun secara pribadi mendapat keluhan masyarakat tentang penayangan korban gempa secara vulgar atau terang-terangan.

"Saya kira korban gempa tidak harus diperlihatkan secara terang-terangan, seperti memperlihatkan mayat atau potongan organ tubuh yang tertimpa gempa tidak harus ditayangkan dengan jelas, karena berdampak pada trauma masyarakat," katanya.

Selain itu, televisi jangan mengeksploitasi korban gempa, seperti menyuruh korban menangis, meronta-ronta dan sebagainya. "Banyak pemisra televisi yang mengeluhkan tayangan itu. Saya berharap televisi juga tidak menayangkan mayat-mayat dengan jelas, ini membuat takut dan jijik para pemirsa," katanya.

Menurut dia, dalam Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Penyiaran dalam pasal 36, disebutkan televisi tidak boleh memperlihatkan tayangan-tayangan yang memiliki nilai eksploitasi.

Peraturan KPI nomor 03 Tahun 2007, tentang Standar Program Siaran (SPS) Pasal 30 menyebutkan, lembaga penyiaran agar membatasi gambar yang memperlihatkan korban bencana dengan memperhatikan dampak negatif seperti trauma.

Baik kepada keluarga korban atau penonton anak-anak, dan lain-lain. "Pasal 30 SPS mengatur agar gambar korban bencana disamarkan dan durasinya dibatasi," katanya.

Masih menurut Najahan, dalam Pasal 54 SPS dikatakan, dalam meliput dan atau menyiarkan program yang melibatkan pihak-pihak yang terkena tragedi bencana, lembaga penyiaran harus mempertimbangkan dampak peliputan bagi proses pemulihan korban dan keluarganya.

Serta tidak boleh menambah penderitaan ataupun trauma orang yang terkena musibah, dan atau orang yang sedang berduka, dengan cara memaksa, menekan korban dan/atau keluarganya untuk diwawancarai dan atau diambil gambarnya. "Yang harus dilakukan oleh peliput adalah menampilkan korban gempa secara manusiawi," katanya.

Pihaknya akan menghimpun keluhan-keluhan dari masyarakat tersebut, kemudian akan dirapatkan dan secara kelembagaan KPID untuk menegur media yang menayangkan korban gempa secara vulgar. "Dalam penayangan ada etikanya sendiri, tidak boleh berlebihan," katanya.
Sumber : kompas.com