Senin, 27 Oktober 2008

Menunggu Sumpah Generasi "Nongkrong"


Selasa, 28 Oktober 2008 | 01:40 WIB

Oleh I Basis Susilo

Judul artikel ini adalah tajuk ”Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi” oleh Budiman Sujatmiko di FISIP Universitas Airlangga, Rabu (22/10/2008). Budiman Sujatmiko adalah salah satu tokoh mahasiswa paruh kedua dasawarsa 1990-an.

Kuliah Tjokro adalah kegiatan serial bulanan sejak Mei lalu untuk menandai beberapa peristiwa istimewa tahun ini: 100 tahun Kebangkitan Nasional, 80 Tahun Sumpah Pemuda, dan 10 Tahun Reformasi. Kuliah Tjokro telah menghadirkan beberapa narasumber, seperti Prof Amien Rais, Dr Mochtar Pabottingi, Dr Makmur Keliat, Dr Pratikno, dan Dr Yudhi Latief. Digagas dan dikelola secara kreatif oleh dosen-dosen muda dan mahasiswa FISIP Unair, Kuliah Tjokro hampir selalu dipenuhi mahasiswa dan kalangan muda di Surabaya.

Topik Kuliah Tjokro sengaja diambil untuk menyindir sekaligus menantang generasi muda saat ini, apakah bisa mengambil posisi dan berperan seperti generasi muda tahun 1908, 1928, 1945, 1966, 1978, dan 1997. Tantangan itu didasari kenyataan bahwa di permukaan generasi muda saat ini kelihatan santai dan lebih memilih nongkrong di kafe atau pinggir jalan daripada serius memikirkan bangsa. Bahkan cangkrukan di Jawa Timur amat populer sampai diangkat menjadi program JTV.

Optimistis

Padahal, kini, krisis dan kegelisahan dirasakan masyarakat dan bangsa. Reformasi telah mengakhiri rezim otoriter di negeri kita. Namun, dalam era reformasi, kelihatan demokrasi tak begitu menjamin adanya kualitas dan kapasitas sistem serta kepemimpinan politik yang lebih baik daripada sebelumnya. Bahkan, ada beberapa yang mulai memikirkan dan mencoba kembali ke Orde Baru. Dari luar, neoliberalisme menekan dan merongrong kedaulatan kita.

Ada hal menarik saat moderator bertanya kepada peserta yang bertanya, apakah mereka optimistis atau pesimistis tentang bangsanya? Semua anak muda itu tegas menjawab, optimistis. Hanya satu yang pesimistis, itu pun peserta yang hampir pensiun.

Jawaban optimistis itu juga mewakili sikap panitia yang juga orang-orang muda sehingga tidak memilih kata ”menanti”, tetapi ”menunggu.” Dibanding kata ”menanti,” kata ”menunggu” lebih menunjukkan optimisme dan kepastian.

Jawaban optimistis kaum muda yang sering nongkrong dan cangkrukan itu mengingatkan kita pada kalimat-kalimat mantra. Bahwa tiap zaman punya pelakunya sendiri-sendiri. Bahwa sejarah berjalan terus. Bahwa zaman terus berganti menuntut manusia untuk menjawabnya. Tiap zaman menyodorkan peran tertentu bagi para pelaku di atas panggung sejarah. Bahwa kerap sekali, bahkan tiap kali, sejarah menuntut peran pelaku yang harus berani. Bahwa keberanian kerap mampu mengatasi krisis sejarah. Dan, umumnya, kaum mudalah yang mau ambil risiko menjadi pelaku pemberani itu!

Tradisi berpikir kritis

Tentu kita harus realistis. Untuk bisa berperan seperti itu kaum muda harus mempunyai kualitas memadai. Menurut Mattulada (1975) generasi muda harus mampu ”melihat fajar sebelum orang sempat melihat cahaya matahari”. Menurut dia, generasi muda, khususnya mahasiswa, memiliki peran esensial yaitu sebagai transformator nilai-nilai generasi terdahulu ke generasi berikut dan merintis berbagai perubahan dalam rangka dinamisasi kehidupan dalam peradaban yang sedang berjalan.

Menurut Sarwono Kusumaatmadja (1976), generasi muda harus mempunyai konsepsi tentang keinginan untuk masa depan dan berbuat sesuatu untuk mengatasi krisis zamannya. Jika tidak, secara sosiologis generasi muda tidak ada. Yang ada hanya gerombolan anak muda yang pandai meniru dan meneruskan teladan orangtuanya, baik atau buruk.

Selama ini ada tiga pendapat keliru tentang peran dan dinamika generasi muda.

Pertama, kualitas kepemimpinan generasi muda muncul setelah ada peristiwa traumatik. Peristiwa traumatik memang bisa mendorong proses berpikir, bersikap kritis, dapat menggalang solidaritas antarsesama dan rakyat. Namun, yang penting sebenarnya bukan pengalaman traumatik, tetapi proses berpikir dan bersikap kritis.

Kedua, pendapat bahwa penggalangan solidaritas antarsesama dan rakyat adalah penting. Pengalaman mengajarkan, generasi muda kita bersikap tegas secara elitis. Mereka tidak sempat menggalang dukungan dari rakyat banyak dan mereka tidak menunggu waktu untuk mencari legitimasi dari masyarakat luas.

Ketiga, ada pendapat, generasi muda tidak boleh nongkrong atau cangkrukan. Sebagai penerus bangsa harus serius menghayati hidup. Padahal, secara sosiologis, gejala dan gaya hidup itu selalu ada dalam setiap generasi muda. Kapan pun, di mana pun, mereka punya dunianya sendiri dengan idola dan gaya hidup. Anak muda tahun 1908, 1928, 1945, 1966, 1978, 1997 pun begitu. Jadi, tidak perlu dikhawatirkan!

Yang terpenting adalah bagaimana menyediakan, memelihara, dan menumbuhkan di kalangan generasi muda, tradisi berpikir, bersikap kritis dan menggalang solidaritas di antara generasi muda itu. Sambil menunggu sumpah baru generasi muda kita.

I Basis Susilo Dekan FISIP Universitas Airlangga

Jumat, 24 Oktober 2008

Kalau SBY Nggak Jadi Capres, Menanglah Mega...

Tak kunjung usainya kesepakatan fraksi-fraksi di DPR terkait angka persentase dukungan syarat pengajuan capres/cawapres pasti bukan tanpa kepentingan. Setidaknya, ada 3 partai yang punya kepentingan besar, yaitu Partai Golkar, Partai Demokrat dan PDIP. Meskipun, penentu akhir mengenai angka persentase juga berada di tangan PKS, selain Golkar dan PDIP.

Kepentingan terbesar, terkait dengan hasrat untuk mengusung capres dan menakar peluang memenangkan pertarungan. Peneliti Senior Centre for Electoral Reform Refly Harun menyampaikan kalkulasi politik ketiga partai tersebut, terkait tarik ulur angka persentase yang dipertahankannya.Golkar dan PDIP, terakhir bertahan dengan angka dukungan tertinggi yaitu 25 persen. Menurut Refly, bergerak atau tidaknya kedua partai dari angka tersebut, masih saling wait and see.

"Saya kira yang wait and see Golkar, karena dia yang paling ngotot. Sederhananya, berdasar survei, calon dari Golkar tidak populer. Maka kemudian, kalau persentasenya tinggi, dua partai besar Golkar dan PDIP punya capres. Kalau PDIP sebenarnya tidak berkepentingan apa-apa, karena bagi dia memajukan Megawati adalah sesuatu yang marketable karena masih populer. Karena itu, PDIP turun (dari 25 persen) saja nggak apa-apa," kata Refly usai mengisi diskusi tentang RUU Pilpres di Jakarta, Jumat (24/10).

Awalnya, PDIP mengajukan angka 15 persen tapi naik menjadi 30 persen dan akhirnya satu suara dengan Golkar di angka 25 persen. Dalam pandangan Refly, naiknya angka PDIP ini juga didasari kepentingan. "Kepentingan dia (PDIP) begini, supaya SBY nggak jadi (capres). Kalau SBY nggak jadi capres, menanglah Mega karena berdasar survei saingan Mega itu hanya SBY," ujar dia.

Bagaimana dengan kepentingan Golkar dengan angka 25 persennya? Menurut Refly, kepentingan Golkar jika memenangkan Pemilu maka kemungkinan bisa menggadang Jusuf Kalla sebagai capres. Akan tetapi, kata dia, hingga saat ini JK belum secara eksplisit menunjukkan keinginannya untuk berlaga dalam bursa capres 2009. "Mungkin dia tahu tidak populer. Tapi pasti akan ada desakan dari dalam, masa menang Pemilu tapi tidak menjadi capres? Yang paling aman bagi JK, kalau jadi capres dia face to face dengan Megawati. Kalau face to face, meskipun tidak populer dia bisa menang. Karena akan ada konsolidasi suara dengan yang lain," Refly memaparkan.

Sedangkan Partai Demokrat, menurut dia, pasti akan setuju dengan angka 20 persen dan kemungkinan akan merapat ke partai menengah. Dalam kalkulasi Demokrat, 20 persen suara bukanlah hal yang sulit untuk diraih. Apalagi, calon yang diusungnya adalah incumbent."Pasti banyak yang mau merapat ke SBY karena dia populer. Tapi bahaya bagi Demokrat kalau dua partai besar (PDIP dan Golkar) main trickie. Triknya, dengan 'membeli' semua partai yang ada, sehingga tidak ada lagi suara bagi SBY. Prediksi saya, kalau pilihannya antara 15-25 persen, Demokrat pasti akan memilih 15 persen," kata Refly.


Inggried Dwi Wedhaswary

Rabu, 01 Oktober 2008

Bandung-puncak masih macet

Mau ke Bandung atau Puncak? Pikir-pikir dulu deh. Pasalnya kepadatan di tol Cikampek makin menjadi-jadi. Menurut seorang pendengar Radio Sonora, Pak Yohan, dari KM 16 sampai KM 66 perlu waktu dua jam!
Kepadatan masih menghadang bagi mereka yang akan ke Puncak. Mulai dari Pasar Ciawi, arus lalu lintas padat dan kendaraan hanya bisa merayap perlahan meski sudah diberlakukan satu jalur. Oleh karenanya disarankan mengambil jalur alternatif.
Selain itu di daerah Bandung, dari Cileunyi arah Jatinangor sangat padat, sehingga kendaraan hanya bisa merayap perlahan. Kepadatan terutama di daerah gerbang tol Cileunyi. Selepas gerbang tol Cileunyi menuju Tasikmalaya, Banjar dan Ciamis ditutup petugas dan dialihkan ke Gerbang tol Buah Batu. Dari arah Purwakarta ke Padalarang menjelang gerbang tol Padalarang Barat terjadi antrian kendaraan sepanjang 700 meter.
Sementara itu, kepadatan juga masih terjadi di Nagrek. Sejak pukul 09.50, kendaraan yang datang dari arah Bandung menuju Nagrek hanya bisa bergerak sangat pelan. Akibatnya polisi memecah tumpukan kendaraan dengan mengalihkan ke jalur-jalur alternatif. Mereka yang akan ke Tasikmalaya, Banjar dan Ciamis dianjurkan melewati arteri Buah Batu.
Sedangkan jalur Pantura, tepatnya di tol palikanci dari Palimanan -kompas.com