Rabu, 14 Oktober 2009

Presiden Yudhoyono dan "Demokrasi Mataraman"

Kamis, 15 Oktober 2009 | 03:57 WIB

Oleh Anwar Hudijono

Setelah Raja Pajang Sultan Hadiwijaya wafat, ada dua poros suksesi utama, yaitu Pangeran Benawa di Pajang dan Panembahan Mas di Madiun. Keduanya sama-sama keturunan darah biru Sultan Trenggana dari Demak Bintara.

Namun, ternyata yang muncul adalah Panembahan Senapati dari Mataram. Dia bukan trah raja. Dia yang semasa kecil bernama Sutawijaya lahir dari kalangan jelata. Ayahnya, Manahan, pernah menjadi perwira Demak bergelar Ronggo Tohjoyo.

Senapati memegang teguh wewarah (ajaran) kultur Jawa bahwa tan ana baskara kembar (tak ada matahari kembar). Tidak boleh ada kekuasaan yang membayanginya. Kekuasaan yang bisa membayangi dirinya ditaklukkan dengan prinsip menang tanpa merendahkan. Berarti memilih penyelesaian politik. Kalau tidak bisa, baru dengan cara militer.

Kerajaan Pajang dilikuidasi. Pewarisnya, Pangeran Benawa, dijadikan bupati di Jipang. Diperhitungkan, Benawa tak akan bisa besar karena berada di daerah basis pendukung Pangeran Sedalepen, musuh kakeknya, Trenggana.

Jurus gertak dan jepit dilakukan terhadap Madiun. Disertai ancaman militer, dipilih pula jalur politik. Retna Dumilah, anak Panembahan Mas, dijadikan istri.

Adipati Pragola di Pati masih memberontak. Senapati tahu, menyerang akan menimbulkan korban besar dan melelahkan karena Pati cukup kuat. Untuk itulah, putrinya, Pambayun, dijadikan umpan untuk menjerat Pragola sampai akhirnya dikawin. Pragola memang mau menghadap Senapati, tetapi sebagai menantu. Sementara sebagai penguasa, dia tetap tidak mau tunduk.

Akhirnya Senapati membunuh Pragola dengan cara mengempaskan kepalanya di batu hitam yang didudukinya saat menantunya itu sungkem. Jasad Pragola dikubur separuh dalam tembok istana, separuh di luar. Itu sebagai simbol separuh sebagai keluarga, tetapi separuh adalah musuh.

Senapati terus menggeber sayap kekuasaannya. Semua harus tunduk, karena pada dasarnya raja yang besar adalah bila seluruh rakyat tunduk. Kalau ada yang masih memberontak atau mbalela (oposisi), berarti kebesarannya berkurang.

Sampai-sampai dia nyaris lupa diri, nafsu kekuasaan yang terlalu besar sehingga lupa norma seperti hendak menghancurkan Giri dan Cirebon. Padahal, kedua daerah ini dicintai rakyat karena memiliki otoritas keagamaan, bukan semata otoritas politik. Demak pun menaruh hormat dan menjadikan keduanya sebagai konfederasi.

Mendekati kemutlakan

Menurut ”ilmu pangremesan”, otak-atik mathuk (dicocok-cocokkan) proses tampilnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di puncak kekuasaan mirip Senapati. Pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2004, ada dua poros utama trahing kesuma rembesing madu politik. Mereka adalah Megawati Soekarnoputri dari trah presiden pertama, Soekarno, dan Wiranto yang boleh dibilang adalah representasi dari trah presiden kedua, Soeharto.

Namun, ternyata yang muncul adalah SBY dari luar arus utama itu. Kemenangan SBY sangat mencengangkan. Dia mendapat legitimasi mitos sebagai Satria Piningit, yaitu lahirnya pemimpin yang memang menjadi suratan alam. Apalagi dia memang sempat terpingit (menyembunyikan diri) di Cikeas, Bogor, setelah berhenti dari kabinet Megawati. Dia seperti Senapati yang menyingkir di Hutan Mentaok yang lalu menjadi Mataram. Senapati pun mendapat legitimasi sebagai penguasa yang memang dikehendaki jagat karena ayahnya meminum air kelapa milik Ki Ageng Giring. Ada suara gaib yang mengatakan, siapa yang meminum air kelapa itu, keturunannya akan menjadi penguasa Tanah Jawa.

Karier kekuasaan SBY dan Senapati sama-sama berada di garis naik. Kalau pada Pilpres 2004 SBY harus menang dua putaran, pada Pilpres 2009 dia menang satu putaran dengan suara hampir 60 persen.

Kemenangan itu sebenarnya memberikan legitimasi yang kuat. Akan tetapi, rupanya itu belum cukup. Terkesan SBY ingin agar seluruh kekuatan politik tunduk. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang pada periode pertamanya bersikap oposisi, dikempit dengan cara Taufik Kiemas, suami Megawati, didorong menjadi Ketua MPR. Partai Golkar pun hampir pasti akan digandeng dengan diberi menteri atau kompensasi lain.

Pada periode kedua ini kekuasaan SBY benar-benar mendekati kemutlakan. Gangguan dari parlemen hampir pasti tak akan ada lagi, seperti pada periode pertama. Kekuatan yudikatif sama lemahnya dengan legislatif, apalagi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin melemah.

Jika pada periode pertama masih ada nuansa matahari kembar dengan Wakil Presiden M Jusuf Kalla, periode kedua ini hampir pasti tidak ada. Boediono akan bisa bersikap cukup menjadi rembulan. Seterang apa pun, jika matahari ada, rembulan akan pucat pasi.

Menurut ”ilmu titen”, kekuasaan yang semakin besar, apalagi mendekati mutlak, akan mudah sekali mengundang melik nggendong lali (lupa diri). Hal itu tidak dibatasi apakah itu kekuasaan kerajaan atau demokrasi. Soekarno terpilih dengan cara semidemokrasi. Namun, dia membiarkan dirinya dinobatkan sebagai presiden seumur hidup.

Soeharto juga dipilih MPR hasil pemilu sebagai bentuk demokrasi. Toh, ia tetap mau dipilih kembali kendati sudah berkuasa 30 tahun. Dia juga dinilai diktatorial. KH Abdurrahman Wahid pun nyaris ”lupa diri” ketika membubarkan MPR, yang kemudian melengserkannya.

Munculnya sikap lupa diri itu tidak selalu semata dari diri sang penguasa, tetapi juga bisa dari orang di sekitarnya, baik yang bertujuan mengeruk keuntungan pribadi maupun menjerumuskannya. Dalam cerita Mahabarata, Prabu Duryudana tak mau menyerahkan separuh Hastina kepada Pandawa karena provokasi Patih Sengkuni dan Pandita Durna. Kisah itu bisa terjadi dalam dunia nyata kekuasaan di negeri ini pula.

Tanda awal berjangkitnya lupa diri itu, menurut ”ilmu titen”, jika penguasa sangat sensitif terhadap perbedaan pendapat, apalagi kritik karena merasa dirinya paling benar, paling berkuasa, paling kuat, dan semua orang harus tunduk. Dengan demikian, kalau ada yang berani berbeda pendapat, itu sudah dikategorikan memberontak atau beroposisi.

Semoga SBY tak sampai melik nggendong lali meski kemungkinan itu bisa terjadi. Lihat saja, dengan menguasai parlemen, SBY akan dengan mudah mengubah batasan masa jabatan presiden dua periode pada konstitusi menjadi lebih. Kalau ia bisa lepas jeratan ”lupa diri”, insya Allah dia akan bisa mengantar Indonesia memasuki zaman emas, seperti Senapati mengantar Sultan Agung membawa Mataram meraih masa keemasan.
Sumber : cetak.kompas.com

Tidak ada komentar: