Rabu, 22 April 2009

SBY-JK Bercerai

Kamis, 23 April 2009 | 03:13 WIB

Jakarta, Kompas - Duet pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla harus berakhir pada 20 Oktober 2009. Baik Partai Demokrat maupun Partai Golkar tidak mencapai titik temu untuk membangun koalisi. Kedua partai itu kini siap bertarung di pemilu presiden.

Baik Partai Golkar maupun Demokrat langsung melakukan gerakan cepat untuk menerapkan strategi pascakeputusan di atas.

Kubu Jusuf Kalla segera merancang pertemuan dengan partai politik lain, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang dijadwalkan berlangsung Kamis (23/4) ini.

Kalla juga melakukan pertemuan dengan sejumlah Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Provinsi Tingkat I. Langkah ini krusial karena Jusuf Kalla membutuhkan dukungan mereka dalam rapat pimpinan nasional khusus yang berlangsung Kamis ini.

Seusai pertemuan semalam, sejumlah ketua DPD I menyatakan dukungan terhadap keputusan DPP Partai Golkar yang dinilai tepat untuk menunjukkan martabat partai. ”Karena itu, kami solid untuk mendukung keputusan DPP di rapimnasus. Apalagi kita ingin Pak Kalla menjadi calon presiden. Meski kalah, tetapi itu di pemilu legislatif. Di pemilu presiden dan wapres belum tentu,” ujar Ketua DPD Sumatera Utara Ali Umri.

Hal senada dinyatakan Ketua DPD Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus, Ketua DPD Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh, dan Ketua DPD Jawa Barat Uu Rukmana. Di Manado, Ketua DPD Sulawesi Utara Max Lumintang juga mengaku konsisten mengusung Kalla sebagai capres.

Sedangkan sumber Kompas menyebutkan, tim Demokrat semalam bertemu dengan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir.

Soal JK

Sikap DPP Partai Golkar disampaikan oleh Sekjen DPP Partai Golkar Soemarsono dan Ketua DPP Syamsul Muarif.

Menurut Soemarsono, DPP Partai Golkar memberikan mandat penuh kepada Ketua Umum membuka komunikasi dengan parpol lain untuk membangun pemerintahan yang kuat dan efektif. Diharapkan dalam rapimnasus Kalla sudah bisa melaporkan hasil komunikasi politiknya itu untuk dibahas menjadi keputusan Partai Golkar. Forum ini juga akan membahas kepastian Kalla sebagai capres.

Menurut Syamsul, buntunya pembicaraan Demokrat-Golkar karena Partai Demokrat tetap meminta lebih dari satu nama calon wapres. Padahal, berdasarkan keputusan rapimnasus tahun lalu, Partai Golkar sudah menyepakati satu nama untuk cawapres.

Di Cikeas, Bogor, Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Politik Anas Urbaningrum dalam jumpa pers mengatakan tidak menduga penghentian pembicaraan dilakukan sepihak. ”Demokrat tidak menduga Golkar menyatakan telah terjadi kebuntuan pembicaraan tentang koalisi. Kami juga tidak menduga penghentian pembicaraan dilakukan sepihak. Tidak benar jika ada kesan Demokrat bertindak semena-mena dalam proses pembicaraan tentang koalisi,” ujarnya.

Anas kemudian menjelaskan kronologi pembicaraan Golkar-Demokrat, termasuk pengajuan draf kesepakatan koalisi, pada Selasa lalu. Golkar diwakili Andi Mattalatta, Muladi, dan Soemarsono. Demokrat diwakili Hadi Utomo, Marzuki Alie, dan Anas.

Prinsipnya, semua butir draf koalisi disepakati kecuali jumlah cawapres. ”Harapan kami tidak satu nama agar capres (Yudhoyono) punya kesempatan menentukan yang terbaik sesuai lima kriteria,” ujar Anas.

Meski pembicaraan koalisi dengan Golkar telah dinyatakan buntu, Demokrat berpendapat, kerja sama dalam bentuk apa pun tetap dimungkinkan. ”Kami menjalankan politik pintu terbuka kepada Golkar dan partai lain,” ujar Anas.

Menanggapi pernyataan Anas tentang pemutusan sepihak, Sekjen Golkar Soemarsono berkomentar, ”Pembicaraan selama seminggu lebih tidak mencapai mufakat, kami keburu waktu, ada rapimnasus. Karena tidak ada keputusan dari Partai Demokrat, berarti tidak ada kesepahaman. Sederhana saja alasannya.”

Bukan sikap partai

Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono, Rabu di Gedung MPR/DPR, menyebutkan, keputusan DPP Partai Golkar untuk berpisah dari Partai Demokrat belum lagi menjadi sikap final Partai Golkar sebagai institusi. Sikap resmi bakal diputuskan dalam rapimnasus, termasuk pilihan mitra-koalisi serta siapa dan berapa calon yang bakal diajukan.

Agung mengharapkan pihak masing-masing menahan diri. Ia mengakui, selama ini Partai Golkar memang cenderung berkoalisi dengan Partai Demokrat. Sebelumnya, pilihan itu dinilai sangat beralasan dan dipandang yang terbaik.

Hal senada disampaikan Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso. Menurut dia, Golkar juga tidak menutup rapat pintunya untuk Demokrat. Bila saat ini belum ada kesamaan pandangan, bisa jadi pada waktu mendatang terjadi perubahan. ”Pintu masih terbuka, tetapi sekarang tipis. Ini politik, setiap hitungan detik, menit, jam, atau hari bisa berubah. Siapa tahu ada sinyal lain dari Cikeas,” katanya.

Secara terpisah, Ketua Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq menyebutkan, sikap PKS yang disampaikan kepada Yudhoyono bukanlah penyebab utama terputusnya koalisi Partai Demokrat dengan Partai Golkar.

Jika benar Partai Golkar memilih tidak berkoalisi dengan Partai Demokrat, tidak berarti kader PKS berpeluang lebih besar mengisi posisi calon wapres. Dalam koalisi, PKS tidak dalam posisi menawar-nawarkan calon wapres. Soal pembagian kekuasaan, hal itu juga belum dibahas bersama Yudhoyono.

Pro dan kontra

Berakhirnya koalisi Golkar-Demokrat disambut beragam. Ketua Dewan Perwakilan Daerah Ginandjar Kartasasmita tidak menyetujui keputusan itu. Menurut Ginandjar, para petinggi Golkar seharusnya dapat menahan diri. Kepentingan partai tidak boleh tunduk pada kepentingan seseorang, termasuk Ketua Umum Golkar.

Ketua DPP PDI-P Panda Nababan berpandangan, seharusnya Presiden Yudhoyono tidak mengabaikan Jusuf Kalla, tetapi justru berterima kasih karena Kalla banyak berperan dalam menyelesaikan berbagai persoalan. ”Sudah sewajarnya SBY berterima kasih kepada JK karena banyak kelemahan yang ada pada SBY ditutupi oleh kecepatan dan kelincahan JK mengatasi berbagai persoalan dan cepat mengambil keputusan,” katanya.(HAR/SIE/DIK/ZAL/MAM/INU/SUT)
Sumber : Kompas

Tidak ada komentar: