Rabu, 01 September 2010

Diplomasi RI yang Lemah

Tribunnews - BEBERAPA minggu belakangan ini masyarakat kita ramai membicarakan hubungan RI dengan Malaysia. Hal ini dipicu oleh kelambanan dan ketidaktegasan pemerintah dalam bersikap.

Bisa kita lihat contoh kelambanan ini ketika pemerintah baru mengirim nota keberatan kepada pemerintah Malaysia beberapa hari setelah tiga pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan dikembalikan oleh Malaysia.

Bahkan Presiden SBY baru-baru ini saja mengirim surat kepada Perdana Menteri Malaysia yang hingga kini malah belum dibalas. Dalam pidato pernyataan sikapnya pun lagi-lagi Presiden membuat kecewa banyak pihak karena masih bersikap tidak tegas dalam sebuah retorika belaka.

Ketidaktegasan Pemerintah ini membuat banyak rakyat berang. Ratusan demonstran berdemonstrasi di depan kedutaan Malaysia, bahkan sampai melempar (maaf) kotoran manusia. Suatu hal yang sebetulnya malah melemahkan posisi kita. Tetapi apa boleh dikata, rakyat sudah terlanjur marah.

Sebagian rakyat malah mengobarkan semangat perang melawan Malaysia. Mereka berharap pemerintah memiliki ketegasan seperti Bung Karno yang dulu pernah lantang berteriak "Ganyang Malaysia".
Bahkan sebuah televisi swasta pernah menayangkan smilasi perang Indonesia melawan Malaysia. Suatu semangat yang mengobarkan rasa nasionalisme kita. Namun ada yang mereka lupakan. Zaman sudah berubah, tidak semua masalah bisa dan harus diselesaikan dengan perang.

Pernah dihitung jika perang dengan Malaysia biayanya satu bulan bisa mencapai Rp 30 triliun. Kalau selesai dalam tiga bulan maka akan menelan biaya Rp 90 triliun. Apalagi kalau perang tersebut memakan waktu bertahun-tahun.

Belum lagi kalau sampai Presiden menyatakan Perang dengan Malaysia maka kita harus juga berhadapan dengan aliansi lima negara yang mendukung negeri Jiran tersebut.

Malaysia memiliki sistem aliansi pertahanan dengan Inggris, Australia, Singapura, serta Selandia Baru yang disebut sebagai Five Power Defense Agreement (FPDA).

Salah satu kesepakatan FPDA adalah klausul bahwa serangan terhadap salah satu negara anggota merupakan serangan pula terhadap negara anggota lainnya. Jadi jika indonesia menyatakan perang terhadap Malaysia, sudah dapat dipastikan kita juga akan berhadapan dengan kelima negara tersebut.

Padahal kalau kita tarik ke belakang ketika Soekarno menyatakan perang terhadap Malaysia tidak semua rakyat mendukung kebijakan itu. Ekonomi masyarakat yang pada saat itu sangat lemah mengakibatkan rendahnya dukungan terhadap Soekarno.

Mereka beranggapan bahwa sikap Soekarno itu akan memperparah keadaan ekonomi masyarakat. Padahal mereka sudah dipusingkan dengan inflasi yang mencapai 650% yang akhirnya membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antre beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya.

Mengenai perang itu sendiri pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5.000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Pasukan Indonesia mundur dan tidak penah menginjakkan kaki lagi di bumi Malaysia.

Seperti itu gambaran yang akan terjadi apabila kita mengobarkan perang terhadap Malaysia. Itu belum termasuk dampak ekonomi, politik, kemanusiaan dan banyak aspek lainnya yang perlu diperhitungkan matang-matang.

Oleh karena itu penulis berharap pemerintah bisa mencari jalan keluar yang paling bijak dalam menyelesaikan masalah ini. Caranya bisa melalui diplomasi yang lebih tegas terhadap pemerintah Malaysia. Pemerintah diharapkan bisa lebih tanggap dan cepat apabila ada issue-issue yang mengganggu stabilitas kedua negara.

oleh Randhika Virgayana, Peneliti Golden Institute
Sumber:www.tribunnews.com

Tidak ada komentar: